Beranda | Artikel
Pentingnya Tulisan dan Kitab
Rabu, 10 Januari 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Pentingnya Tulisan dan Kitab ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 26 Jumadal Akhir 1445 H / 08 Januari 2024 M.

Kajian tentang Pentingnya Tulisan dan Kitab

Kita sampai pada poin bantahan Ibnul Jauzi terhadap sikap mereka ini. Ibnul Jauzi mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya. Dan iblis akan membuat manusia menilai baik segala perkara yang bisa memadamkan cahaya tersebut. Sehingga iblis benar-benar leluasa untuk menguasai manusia dalam kegelapan, tanpa cahaya ilmu. Dan tidak ada kegelapan seperti halnya kegelapan kebodohan ataupun kejahilan, yaitu ketiadaan ilmu. Karena khawatir, mereka terbiasa membaca buku-buku, hingga memungkinkan mereka untuk mengetahui tipu daya iblis melalui dalil-dalil yang mereka baca dari buku-buku tersebut, maka iblis mendorong mereka agar mengubur dan merusak kitab-kitab tersebut. Dan ini adalah perbuatan yang buruk dan dilarang. Ini juga mencerminkan kebodohan pelakunya, karena tentunya isi dari buku-buku itu adalah ilmu. Ketika mereka membakarnya, artinya membakar ilmu.

Asas dari segala ilmu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lalu, ketika diketahui bahwa menjaga kedua asas ini sangatlah sulit, maka syariat pun memerintahkan agar menulis Mushaf dan juga menulis hadits. Adapun untuk Al-Qur’an, tiap kali Allah turunkan ayat, maka Rasulullah memanggil penulis-penulis wahyu untuk menulis firman-firman Allah pada pelepah kurma, bebatuan, atau tulang-tulang binatang. Baru setelah itu, Al-Qur’an disatukan dalam Mushaf oleh Abu Bakar As-Siddiq untuk menjaga keautentikannya. Selanjutnya, mushaf itu disatukan oleh Abu Bakar ini disalin kembali oleh Utsman bin Affan dan sejumlah sahabatnya yang kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani. Beliau mengumpulkan apa yang telah disatukan oleh Abu Bakar, lalu disalin kembali menjadi sebuah mushaf yang kita pakai sampai hari ini. Basicnya itu adalah mushaf yang disusun atas perintah Usman Ibnu Affan, dan upaya ini bertujuan untuk menjaga Al-Qur’an dan untuk memastikan tidak ada satupun bagian yang hilang darinya.

Jadi, ada dua hal dimana Allah menjaga Al-Qur’an ini. Yaitu apa yang tersimpan di dalam dada orang-orang yang beriman melalui hafalan. Kemudian diperkuat lagi apa yang ditulis oleh para penulis-penulis wahyu yang kemudian dikumpulkan oleh Utsman bin Affan pada masa kekhalifahannya. Dan tidak ada pertentangan antara apa yang mereka hafal dengan apa yang tertulis. Sampai hari ini, Al-Qur’an tetap terjaga keautentikannya, tidak ada penambahan maupun pengurangan. Ada usaha-usaha untuk menodainya dengan menambah ataupun mengurangi, tapi semua itu gagal. Karena tidak ada satu huruf pun yang bisa ditambah atau dikurangi dari Al-Qur’an. Apalagi satu kata, apalagi satu kalimat, apalagi satu ayat, apalagi satu halaman. Begitulah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga Al-Qur’an.

Sedangkan As-Sunnah (hadits), di awal-awal perkembangan Islam, nabi membatasi kaum muslimin supaya menulis Al-Qur’an saja agar tidak tercampur antara Al-Qur’an dan hadits, karena dua-duanya bahasa arab. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

لا تكتبوا عني سوى القرآن

“Janganlah kalian menulis dariku selain Al-Qur’an.”

Maka, hadits itu bersumber dari hafalan para sahabat. Mereka mendengar apa yang nabi katakan dan melihat apa yang nabi lakukan. Lalu, mereka pun menyampaikannya kepada generasi-generasi setelah mereka, yaitu tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Dan pada akhirnya, pada masa Umar bin Abdul Aziz, beliau memerintahkan untuk menyalin hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tersimpan dalam hafalan-hafalan kaum muslimin. Karena pada ada awalnya nabi melarang menulis dari beliau selain Al-Qur’an. Tujuannya agar tidak tercampur antara Al-Qur’an dan hadits. Begitulah Allah menjaga.

Jadi, awalnya nabi melarang menulis dari beliau selain Al-Qur’an. Tetapi setelah hadits semakin banyak dan beliau pun mengetahui minimnya hafalan para sahabat atas hadits-hadits ini, maka beliau mengizinkan para sahabat untuk menulis hadits.

Dinukilkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa dia mengeluhkan minimnya hafalan hadits kepada Rasulullah. Maka Rasulullah pun menanggapi dan mengatakan kepadanya: “Bentangkanlah kain atasanmu.” Maka Abu Hurairah bentangkan selendangnya. Lalu, nabi menyampaikan hadits kepadanya. Kemudian, nabi menyuruhnya: “Rangkullah selendang itu.” Maka Abu Hurairah pun menegaskan: “Sejak saat itu, aku tidak pernah melupakan satu hadits pun yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadaku.”

Terbukti bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak menghafal hadits-hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Abdullah bin Umar juga meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قيد العلم

“Ikatlah ilmu.” Ibnu Umar bertanya: “Wahai Rasulullah, apa pengikatnya?” Nabi menjawab:

الكتابة

“Tulisan.”

Maka ada surat-surat nabi dan juga catatan-catatan yang ditulis oleh sahabat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu dalam periwayatan hadits, ada periwayatan dengan tulisan.

Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa para sahabat menulis sabda nabi, perilaku dan perbuatan-perbuatan, sifat-sifat nabi, baik itu sifat-sifat fisik maupun akhlak nabi. Syariat kita pun dikumpulkan dari riwayat-riwayat dari sahabat kepada tabi’in dan seterusnya.

Itulah agama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jaga dengan riwayat. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengatakan:

نضَّر اللهُ امرأً سمِعَ مقالَتي فوَعاها فأدَّاها كما سمِعَها

“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat berseri cerah wajah orang-orang yang mendengar perkataanku, lalu memahaminya, kemudian menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya.” (HR. Ibnu Majah)

Ini perintah untuk menyampaikan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan menyampaikan hadits sesuai dengan apa yang didengar hampir tidak bisa dilakukan kecuali dengan membaca dari tulisan, sebab menyampaikannya melalui hafalan terkadang lupa. Maka ada sahabat yang sangat ketat di dalam penyandaran hadits kepada Nabi, yaitu Umar bin Khattab. Bahkan beliau memperingatkan sahabat-sahabat yang sering mengatakan: “Dari Nabi” atau “Nabi berkata.” Karena Umar bin Khattab dikenal dengan sebagai sahabat yang sangat berhati-hati. Kadangkala beliau menisbatkan itu kepada diri beliau, tidak menyandarkannya kepada nabi, apabila beliau belum bisa memastikan itu adalah sabda nabi yang beliau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Demikian ketika Ahmad Ibnu Hambal Rahimahullah sedang menyampaikan hadits, seseorang meminta kepadaNya dan berkata: “Diktikanlah hadits itu untuk kami dari hafalanmu.” Maka Imam Ahmad menjawab: “Tidak, tidak dari hafalanku, melainkan dari kitab (yaitu beliau membacanya).”

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53786-pentingnya-tulisan-dan-kitab/